Kenapa Harus Bule Sebuah Film Berstempel 21+

Maret 30, 2018

Foto bareng Buyung


Menonton film bagi saya adalah sebuah kegiatan yang cukup menguras fikiran baik film bergenre dan jenis apapun film itu, entah drama, tragedi, epik, biopik, komedi bahkan animasi sekalipun. Meski ada asumsi yang mengatakan menonton hanya  sebatas hiburan belaka. Walau begitu saya tetap suka melakukanya. 

Asumsi itu pun sah-sah saja. Menonton film dengan tidak membebani fikiran dengan segala fikiran menganalisa dan mencoba menggali apa yang sesungguhnya ingin disampaikan oleh kreator film tersebut. Hal tersebut menurut saya pun tak mengapa. Bebas saja. 

Berkaitan dengan hal tersebut saya mencoba membawa perspektif saya sendiri ketika menonton film yang berstempel 21+. Maksud sebuah film dengan stempel 21+ itu sendiri saya belum memahami sepenuhnya untuk kriteria jenis film apa yang berlaku di negeri ini. Sebagaimana yang sering di pahami (Sekali lagi: Asumsi) sebagian orang. Film dengan stempel 17+ saja sudah memberikan asumsi bahwa film tersebut tak layak di tonton oleh orang yang berusia di bawah 17 tahun. 

Begitupun pada film Kenapa Harus Bule yang saya tonton pada kesempatan screening [15/3] lalu. Saya mencoba membawa apa yang saya tangkap melalui persfektif saya. Dan saya yakin setiap penonton pun akan berbeda menangkap cerita sebuah film meski yang ditonton film yang sama. 

Pemeran Pipin, Putri Ayudia
Sebelumnya saya tak terlalu mengenal kreator film ini Andri Chung. Mungkin karena saya sendiri bukan penonton film yang baik. Juga tak banyak mengenal kreator film di negeri ini saat ini yang sedang terus menggeliat. Sederet nama yang turut hadir saat press conference seperti Nia Dinata, Jenar Maesa Ayu mungkin tak asing lagi. 

Baiklah kita langsung saja pada apa yang ingin saya sampaikan tentang film ini. Kenapa Harus Bule adalah judul yang langsung membuat interpretasi saya mengatakan adalah film bercerita tentang perjodohan. Apakah akan ada adegan yang panas selama pemutaran film?. Pertanyaan itu tentu saja mencuat sebagai seorang laki-laki berusia kepala tiga seperti saya. 

Seperti yang saya katakan diatas, asumsi-asumsi telah memengaruhi pikiran saya sejak lama. Salahkah? tentu bukan suatu hal yang boleh di judge begitu saja. Sebab pemikiran akan selalu bersanding dengan informasi yang didapat pada kali awal di terimanya. Dan akan berubah mengikuti proses pemahamanya. 

Interpretasi saya sepertinya sedikit mengena bahwa film ini berkisah tentang perjodohan. Tetapi sebagai orang yang duduk di bangku sinema saya memilih untuk tetap membiarkan film berjalan. Seorang perempuan yang agak-agak norak dan lugu (naif), muncul dengan gambar-gambar superzoom di layar yang saya nikmati dari kolom kursi G mengalirkan cerita. 

Pipin menjadi tokoh sentral seluruh isi cerita film ini. Seorang perempuan yang hidup dijaman orang tua membebaskan fikiran dan keinginanya mendapat kebahagiaan di dunia ini. Bahkan membebaskan segala bentuk normatif apapun sehingga berbicara elu-gue bersama ibunya adalah sebuah equality aktifitas keseharian Pipin. Putri Ayudia membawakan peran menjadi Pipin yang belum pernah saya saksikan sebelumnya.

Pemeran Arik, Michael Ko
Kemudian ada tokoh Arik (diperankan oleh Michael Ko) yang menjadi sahabat kecil Pipin yang telah lama berdiam di Bali dan menjalani sepenuhnya kehidupan di Pulau Bali. Arik adalah sosok berperangai sahabat setia yang tulus menolong temannya sendiri. Meski begitu Arik juga memiliki kehidupan lain yang kontroversial di kehidupan saat ini. Arik juga seorang lelaki yang menjadi gay dan memilih jalan hidupnya sendiri dengan mandiri. Cukup memiliki tempat tinggal sendiri dan bekerja menghidupi dirinya sendiri dan mau menampung sementara sahabatnya tinggal bersamanya. 

Pipin yang bersahabat dengan Arik dan mengenali betul Arik seperti apa kini menjalani kehidupan bersama di Bali. Ia mencari pria impiannya seorang Bule untuk menjadi suami idamanya di saat usianya memasuki usia seperempat abad. Dan Arik mencoba membantunya dengan menghadirkan kawan kecilnya juga yang hingga kini sama seperti Pipin ingin mencari jodohnya sendiri. Dia adalah Buyung

Pemeran Buyung, Natalius Chendana
Arik berusaha sekuat tenaganya untuk mempertemukan atau lebih tepat menjadi mak comblang antara Pipin dan Buyung. Belakangan di ketahui Pipin, Buyung adalah sahabat kecilnya yang memiliki kelainan kulit sejak kecil dan gangguan wicara. Namun telah berubah sebab kecanggihan ilmu kedokteran dan therapy wicara yang dijalani menjadikan Buyung seorang lelaki gaek, bijak dan kharismatik. Sebagaimana seorang pria Indonesia yang telah mencapai kematangan gaya hidup sebagai Indonesian people kebanyakan yang sangat sulit dicari saat ini sosok yang seperti itu. Dewasa, tak memaksakan kehendak, penyabar, lembut juga memikat siapapun yang berhubungan dengannya baik berbisnis maupun bermain rasa. Sebab usia yang sudah memasuki waktunya masa-masa lajang berakhir. 

Jodoh selalu memiliki akhir cerita yang sangat sulit di nalar. Sepertinya ini terjadi oleh Pipin. Impian terbesar ditengah tenggat waktu habis untuk menjadi lajang dan menikah bersama seorang bule. Bali memiliki segudang lelaki bule dan beragam suku bangsa dunia yang menjadikan Pipin semakin yakin jodohnya akan dia dapatkan disini. 

Pipin pun mengejar impiannya ditengah perkenalannya dengan Buyung yang belum disadari bahwa Buyung adalah kawan kecilnya dahulu. Dan Buyung dengan sabar membantu impian Pipin tersebut mendapatkan bule idamannya. Walau hatinya tergerus-gerus rasa tak menentu cinta terpendamnya bertepuk sebelah tangan. 

Apa yang salah sebenarnya? Arik yang tak henti memberikan pikiran-pikiran untuk membuka bahwa jodoh tak mesti seorang bule tak jua kunjung menuai hasil. Arik yang seorang gay pun mengajarkan hal yang tak pernah dipikirkan seorang Pipin yang sangat terobsesi menikah dengan bule. Sebab Arik telah banyak melihat kehidupan bule di lingkunganya sendiri. Dan memiliki sentimen pikirannya sendiri mana bule yang miskin dan bule yang kokay. Juga mana bule yang memiliki integritas dan mana bule yang hedon. 

Kesabaran Buyung akan keutuhan pribadi Pipin yang semestinya berjalan apa adanya akankah menuai hasil? Sila tonton saja film ini yaaaaakkkk. 

Maafkan saya untuk tak meneruskan cerita ini. Dengan rendah hati saya mengatakan bahwa film ini cukup pandai memainkan rasa penonton. Alur yang agak sulit ditebak dan penuh letupan humor yang menurut selera usia 21+ adalah guyonan yang satir dan cukup sensitive pada isu-isu tertentu. 

Kehidupan lugu anak gadis Indonesia ditengah kehidupan pendidikannya yang tak lagi kurang, Lalu kehidupan realita yang kontradiktif ada disekitar kita dan perilaku santun dan nilai arif lokal Indonesia yang kini mulai asing hadir mengisi seluruh cerita film Kenapa Harus Bule. 

Akhir kata dari saya, stempel 21+ ini memang layak tertempel dalam poster film. Sebab isu-isu sensitive yang memang hanya untuk dikonsumsi kalangan sendiri merupakan hak kehidupan normatif yang harus terjaga sesuai kearifan kultur ke Indonesiaan. 

Maka ijinkanlah interpretasi saya terhadap film Kenapa Harus Bule ini tersajikan melalui tulisan ini. Jika pun ada yang kurang berkenan terimakasih untuk meyampaikan nya secara terbuka atau pun pribadi. 

Demikianlah, 
Salam
Team Produksi Kenapa Harus Bule

You Might Also Like

2 komentar

  1. Aku selalu suka nonton film apapun. Apalagi yg tema ceritanya tak biasa dan tak mudah ditebak.

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkunjung dan berbagi...
Bergembira selalu !!