Menembus Waktu di Tembang Sunyi RB Ali

April 22, 2020

Rb Ali
Tembang Sunyi 

Sering dirumah sebetulnya hal yang biasa buat saya, sudah terlalu lama sering berada dirumah. Namun berbeda dengan kondisi seperti saat ini. Tetap dirumah saja, sambil kerja dari rumah tentunya. Menyita memori cukup banyak akan ingatan-ingatan panjang sebelum kondisi berubah seperti saat ini. Pandemic global memaksa setiap orang beradaptasi dengan cara hidup yang baru. Berjaga jarak dan menjadi sosok yang introverts. Dan itu menjadi hal yang lazim seharusnya. 

Oke saya tidak akan panjang lebar membahas situasi kini. Namun setidaknya saat ini mengajak saya pribadi memikirkan sesuatu yang menjadi beban pikiran. Itupun jika saya tak pernah mendapat pengingat untuk melunaskan janji menuliskan sesuatu yang seharusnya sudah saya tulis sejak dulu. Saya memang makhluk tak sempurna, yang masih memiliki banyak kekurangan disana sini. Terlebih bagi seorang seperti saya yang berpedoman pada janji adalah hutang. 

Baiklah, saya mencoba melunasinya sebisa mungkin sebagai sebuah bagian dari integritas sosial saya di bidang perblogeran atau nara blog yang sudah saya tekuni sejak tahun 2014 lalu. Dan hingga saat ini saya tetap menulis meski tidak se-produktif yang saya bayangkan. Dan bahkan sebagian besar blog ini hanya sebatas "berjualan" yang lebih banyak untuk mengais rejeki demi roda yang berputar. Disinilah letak realitas dan idealisme yang selalu bertarung dalam kepala saya. Bahkan jauh sebelum memiliki blog, pertentangan ideal dan realitas selalu dan selalu menjadi hal yang paling sulit saya hadapi. 

Dua paragraf diatas setidaknya dapat sedikit menguak tentang keberadaan blog onosembunglango.net sebagai sebuah alat menulis seorang Ono. Dan bukan sebuah alasan yang menjadikan Ono menjadi seorang penulis. Tidak. Mungkin hanya sebagai sesama yang ingin terus belajar memahami badai hidup yang dilaluinya dengan segenap harapan dan perbuatan. 

Rb Ali
Salah satu lukisan RB Ali di Pameran Tembang Sunyi

Termasuk saat menjadi seorang penikmat seni yang menghadiri sebuah pembukaan pameran seni lukis bertajuk Tembang Sunyi yang digelar di Galeri Nasional beberapa waktu lalu (03-20 Juni 2016). Sebuah perhelatan pameran karya pelukis seorang RB Ali. Sebelumnya saya dengan Ali hampir tak pernah bertemu bahkan berbincang banyak dalam pertemuan offline atau kongko-kongko bersama seniman lukis lainnya. Meski saat ini setelah lama akhirnya bersama dalam satu group whatsapp. 

Yang membuat tulisan ini akhirnya tertulis mengalir begitu saja. Sebagai penebus hutang sebagai blogger dan atau sebagai ranah dialektika yang juga saya masuki diluar sebagai profesi blogger atau juga sebagai  seorang teman yang bersama satu group whatsapp yang isinya teman-teman pelukis yang ada di Tangerang. Ya saya membaca sebuah chat yang mention nama saya saat itu. Dan saya tertampar sekaligus merasa beruntung sebab tak akan ada tulisan ini jika tak membaca mention itu. 

Sebagai bagian dari komunitas itu sangat menyenangkan dan membuat saya banyak belajar. Sebab saya sadari sepenuhnya saya sama sekali tak memiliki latar belakang akademis sebagai seorang pengamat seni atau penulis. Saya banyak belajar secara otodidak melalui banyak hal. Untuk belajar melukis, menulis, teater, relawan dan banyak hal lain termasuk menjadi seorang blogger. 

Lewat banyak hal, bergabung dalam satu komunitas dan mencoba memberi kontribusi dengan apa yang saya bisa. Tentunya juga dengan segala kekurangan sebagai makhluk yang namanya manusia. Moment-moment  pembelajaran yang saya dapati bisa dari perbincangan warung kopi atau pun juga perbincangan serius disaat serius. Bukan demi eksistensi atau apapun, saya melepaskannya. Jujur saja debur dada ini mau meledak rasanya ketika membaca mention itu. Saya merasa tertagih untuk sesuatu hal yang sungguh sulit saya lakukan. Dan sangat sulit menemukan flow untuk menulis ini hingga sepanjang ini dan bertele-tele. 

Ali Rb
RB Ali dan karyanya. 

Memasuki jalan pikiran Tembang Sunyi dengan beberapa peristiwa beberapa indra yang memberikan kesan mendalam dalam ingatan saya. Deret lukisan-lukisan berukuran besar dari pintu ruang pertama dibuka hingga ke ruang berikutnya. Sangat diperhatikan sebuah petualangan yang seharusnya hanya sebuah perjalanan visual menjadi perjalan bunyi yang terkecap melalui telinga. Jujur saja menggugah. Paradoksal dan happening yang menarik di ruang pameran Tembang Sunyi. 

Entah ini pameran yang kali keberapa seorang RB Ali. (Maafkan saya hindari membaca katalog yang mungkin tertera disana) dan maafkan sebab mungkin saya bukan seseorang yang sering melihat dan menyaksikan pameran seni lukis, sebanyak dan sesering seorang RB Ali. Dan bagi saya inilah pengalaman yang terekam oleh saya sebagai moment yang tak bisa saya lupakan. Suara-suara letusan buble warp yang terpasang seluas ruang pameran sambil memandang karya lukis tangan seorang RB Ali. "Ada keramaian dalam kesunyian, ada kesunyian dalam keramaian". Ungkapan ini pula yang tercetus dan selalu mengiang di telinga saat mengingat Tembang Sunyi.

Ditambah keterlibatan teman-teman seniman yang turut melakukan performance dengan permainan visual cahaya menggunakan sebuah alat reflektor ke dinding. Serta juga keterlibatan teman-teman lainya untuk menyusun instalasi mannequin di depan ruang pameran. Bagi saya itu merupakan potret keguyuban yang termenej dengan baik bagi sebuah perhelatan pameran lukisan. Sebuah solidaritas akan profesi sebagai pelukis  dan nilai profesionalitas bentuk pameran sekelas Galeri Nasional yang ada di Jakarta. 

Rb ali
RB Ali dan Najwa Sihab dengan karyanya

Ali merekam begitu banyak peristiwa yang terjadi di negeri ini melalui karya yang dipamerkan. Seorang Ahok yang nampak lebih besar dari monas terpampang dengan gamblang. Begitu juga potret seorang Novel Baswedan punggawa KPK yang kasus penyiraman terhadap dirinya tertuang diatas kanvas berukuran besar. Ya besar dan sunyi bersamaan dengan bising buble-buble warp yang terpijak. Membuat saya hampir mual.  

Bahkan setelahnya semua ruang pameran saya ikuti satu persatu. Mencoba memahami satu persatu interpretasi dalam kapasitas isi kepala saya. Sungguh kepiawaian mengolah kuas, warna di atas kanvas bukan lagi ukuran yang mampu saya ukur. Bahkan terlalu berlebihan jika cukup saya bilang bagus. Bukan, bukan seperti itu yang diinginkan bukan. Bahkan ketika saya sedikit memasuki kekedalaman Tembang Sunyi itu saya terengah-engah. Capek. Sehingga sulit menemukan juga hampir ingin melupakan bagaimana ini harus saya tulis. 

Yang pasti saya menikmati proses ini, proses sebagai pengunjung yang mencoba terus memahami akan makna sebuah  karya seni dengan penuh interpretasi meski jauh dari sebentuk apresiasi yang bisa saya lakukan. Jikalau pun tulisan ini dianggap sebagai apresiasi mungkin terlalu berlebihan. 

Demikian, semoga menjadi pelunas hutang artikel dan terpenting adalah memaknai perjalanan dan proses bersama dalam ruang kebersamaan. Semoga juga tulisan ini berguna bagi pembaca. 

Salam. 

Dan ternyata sudah 4 tahun yang lalu, maafkan ya mas Ali 🙏🙏🙏. 
Artikel yang tak termaafkan!! 



You Might Also Like

0 komentar

Terima kasih sudah berkunjung dan berbagi...
Bergembira selalu !!